Archive for April 2012
Manusia Sebagai
Makhluk yang Berbudaya
Secara bahasa
manusia berasal dari kata “manu” (Sansekerta), “mens” (Latin),
yang berarti berpikir, berakal budiatau makhluk yang berakal budi (mampu
menguasai makhluk lain). Secara istilah manusia dapat diartikan sebuah konsep
atau sebuah fakta, sebuah gagasan atau realitas, sebuah kelompok (genus)
atau seorang individu. Dalam hubungannya dengan lingkungan, manusia merupakan
suatu oganisme hidup (living organism). Terbentuknya pribadi seseorang
dipengaruhi oleh lingkungan bahkan secara ekstrim dapat dikatakan, setiap orang
berasal dari satu lingkungan, baik lingkungan vertikal (genetika, tradisi),
horizontal (geografik, fisik, sosial), maupun kesejarahan.
B. Pengertian Budaya dan Kebudayaan
Kata budaya
merupakan bentuk majemuk kata budi-daya yang berarti cipta, karsa, dan rasa.
Sebenarnya kata budaya hanya dipakai sebagai singkatan kata kebudayaan, yang
berasal dari Bahasa Sangsekerta budhayah yaitu bentuk jamak dari budhi
yang berarti budi atau akal. Budaya atau kebudayaan dalam Bahasa Belanda di
istilahkan dengan kata culturur. Dalam bahasa Inggris culture.
Sedangkan dalam bahasa Latin dari kata colera. Colera berarti mengolah,
mengerjakan, menyuburkan, dan mengembangkan tanah (bertani). Kemudian
pengertian ini berkembang dalam arti culture, yaitu sebagai segala daya dan
aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan
dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke
generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama
dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya
seni.
Kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi
tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam
pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat
abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan
oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda
yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup,
organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk
membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
C. Manusia Sebagai Makhluk Budaya
Manusia adalah
makhluk yang paling sempurna bila dibanding dengan makhluk lainnya, mempunyai
kewajiban dan tanggung jawab untuk mengelola bumi. Oleh karena itu manusia
harus menguasai segala sesuatu yang berhubungan dengan kepemimpinannya di muka
bumi disamping tanggung jawab dan etika moral harus dimiliki, menciptakan nilai
kebaikan, kebenaran, keadilan dan tanggung jawab agar bermakna bagi
kemanusiaan. Selain itu manusia juga harus mendayagunakan akal budi untuk
menciptakan kebahagiaan bagi semua makhluk Tuhan.
Budaya Sunda
KARAKTERISTIK
BUDAYA
Dalam karakteristik budaya sunda
sendiri memiliki kemampuan-kemampuan yang menjadikannya sebagai daya hidup bagi
masyarakatnya, yang diantaranya seperti : Kemampuan berkoordinasi dan
berorganinasi, dimaknai sebagai kemampuan berinteraksi secara sosial. Kemampuan
beradaptasi, dimaknai sebagai kemampuan kesadaran untuk secara kreatif mengatasi
tantangan keadaan, tantangan zaman dan tantangan berbagai ragam pergaulan.
Kemampuan mobilitas, dimaknai sebagai kemampuan untuk dengan kreatif
menciptakan mobilitas sosial, politik, dan ekonomi, baik yang bersifat
horizontal maupun vertikal. Kemampuan tumbuh dan berkembang, diartikan sebagai
kemampuan kesadaran untuk selalu maju, selalu bertambah luas dan dalam
wawasan-nya selalu menawarkan pemikiran-pemikiran yang segar dan baru Kemampuan
regenerasi, dimaknai sebagai kemampuan untuk mendorong munculnya generasi baru
yang kreatif dan produktif.
Di samping daya hidup, unsur lain
lagi yang juga penting dalam suatu kebudayaan adalah mutu hidup. Mutu hidup
bukanlah merupakan kesempurnaan tetapi lebih dimaknai sebagai kebiasaan. Adapun
kebisaan dalam hidup manusia merupakan kolaborasi harmonis dari tiga aspek,
yakni :
Ø
Tanggung Jawab, dimaknai sebagai suatu kesadaran untuk selalu melaksanakan
kewajiban-kewajiban secara penuh sesuai dengan tanggung jawab sosialnya.
Ø
Idealisme, dimaknai sebagai rumusan sikap hidup seseorang di dalam menempuh
padang dan hutan belantara kehidupan. Idealisme sekaligus merupakan sumber
kepuasan batin seseorang.
Ø
Spontanitas, dimaknai sebagai ungkapan naluri dan intuisi manusia. Tanpa
spontanitas akan menyebabkan hidup menjadi kering dan hambar.
NILAI
TRADISI MASYARAKAT SUNDA
Meniliki nilai budaya yang
tinggi, budaya Sunda dicirikan dengan telah dikenalnya budaya tulis semenjak
zaman dahulu. Pesan-pesan para leluhur Sunda tersebut menunjukkan bahwa makna
yang dimiliki dari budaya Sunda tergolong kedalam makna nilai yang tinggi dan
strategis serta sangat dihormati oleh masyarakatnya. Pesan moral yang awalnya
terbatas hanya untuk masyarakat kerajaan Sunda ternyata memiliki nilai yang
bersifat universal yang dapat juga dijadikan panutan oleh masyarakat di luar
etnis Sunda agar kita selalu bersikap baik memperlakukan alam. Karena secara
nurani setiap komunitas makhluk hidup termasuk manusia, siapa dan seberapapun
kecilnya selalu membutuhkan tatanan kehidupan yang seimbang, selaras dan harmonis.
NILAI
RELIGIUS
Dalam perjalanannya nilai-nilai
tradisi dan religius masyarakat Sunda terus mengalami proses perkembangan
sesuai dengan perubahan zaman. Agama Islam yang merupakan agama mayoritas
masyarakat Sunda saat ini. Dalam aplikasinya, perkembangan keagamaan seperti
yang terjadi pada masyarakat Sunda sebenarnya merupakan proses perkembangan
dari mitos-mitos masyarakat yang pada intinya selalu mencari bentuk hubungan
yang seimbang antara keberadaan manusia dengan lingkungan alamnya.
PERUBAHAN
BUDAYA MASYARAKAT SUNDA
Tingginya budaya Sunda seperti
dikenalnya budaya tulis, dimana budaya tulis sudah dikenal sejak dahulu kala
yang diwujudkan dalam berbagai bentuk prasasti tampaknya sudah semakin tidak
terlihat dalam kehidupan masyarakat Sunda saat ini. Realitas kondisi keempat
daya hidup yang dimiliki oleh budaya Sunda dalam menghadapi berbagai bentuk
tantangan. Kemampuan beradaptasi kebudayaan Sunda, terutama dalam merespon
berbagai tantangan yang muncul, baik dari dalam maupun dari luar dapat dikatakan
memperlihatkan tampilan yang kmasyarakat begitu menggembirakan. Bahkan,
kebudayaan Sunda seperti tidak memiliki daya hidup manakala berhadapan dengan
tantangan dari luar. Akibatnya, tidaklah mengherankan bila semakin lama semakin
banyak unsur kebudayaan Sunda yang mulai terhapus oleh kebudayaan asing.
Sebagai contoh yang paling jelas
adalah bahasa Sunda yang merupakan bahasa komunitas masyarakat Sunda tampak
secara eksplisit semakin jarang digunakan oleh pemiliknya sendiri, khususnya
para generasi muda Sunda. Dan yang lebih memprihatinkan lagi, menggunakan
bahasa Sunda dalam komunikasi sehari-hari terkadang diidentikkan dengan
“keterbelakangan”, untuk tidak dikatakan primitif. Akibatnya, timbul rasa
gengsi pada masyarakat Sunda untuk menggunakan bahasa Sunda dalam pergaulannya
sehari-hari. Bahkan, rasa “gengsi” ini terkadang ditemukan pula pada mereka
yang sebenarnya merupakan pakar di bidang bahasa Sunda, termasuk untuk sekadar
mengakui bahwa dirinya adalah pakar atau berlatar belakang keahlian di bidang
bahasa Sunda.
Oleh karenanya, jangankan di luar
komunitas Sunda, di dalam komunitas Sunda sendiri, kebudayaan Sunda seringkali
menjadi asing. Kemampuan tumbuh dan berkembang kebudayaan Sunda juga dapat
dikatakan memperlihatkan tampilan yang tidak kalah memprihatinkan. Jangankan
berbicara pemikiran-pemikiran baru, itikad untuk melestarikan apa yang telah
dimiliki saja dapat dikatakan sangat lemah. Kebudayaan Sunda pun tampaknya
terlihat masyarakat membuka ruang bagi terjadinya proses tersebut, dapat dikatakan
menjadi salah satu penyebab rentannya budaya Sunda dalam proses regenerasi.
Akibatnya, jadilah budaya Sunda yang gagap dengan regenerasi.
Generasi-generasi baru masyarakat
Sunda seperti tidak diberi ruang terbuka untuk berkompetisi dengan sehat, hanya
karena kentalnya senioritas serta “terlalu majunya” pemikiran para generasi
baru, yang seringkali bertentangan dengan norma-norma yang dimiliki generasi
sebelumnya. Akibatnya, tidaklah mengherankan bila proses alih generasi dalam
berbagai bidang pun berjalan dengan tersendat-sendat.
Mengamati daya hidup kebudayaan
Sunda yang hanya memperlihatkan temuan-temuan yang cukup memprihatinkan, hal
yang sama juga terjadi pada aspek mutu hidup yang digunakan untuk menjelajahi
Kebudayaan Sunda, baik dari aspek tanggung jawab, idealisme maupun spontanitas.
Lemahnya rasa tanggung jawab tidak saja diakibatkan oleh minimnya ruang-ruang
serta kebebasan untuk melaksanakan kewajiban secara total dan bertanggung jawab
tetapi juga oleh lemahnya kapasitas dalam melaksanakan suatu kewajiban.